Ketaatan adalah keniscayaan. Semua orang pada dirinya sendiri membutuhkan ketaatan. Untuk bisa taat dibutuhkan kesediaan berproses.

Agar Israel menjadi taat pada Taurat Tuhan, Allah memberikan Taurat di dalam hati mereka. Tuhan berfirman,”Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka” (Yer. 31:33). Mengapa Taurat diletakkan dalam batin? Karena batin merupakan pusat gerak hidup manusia.

Dengan Taurat yang tersimpan dalam batin, umat diharap senantiasa mengingat kasih setia dan perjanjian Tuhan.

Yeremia 31:31-34 merupakan perjanjian baru dari Allah. Perjanjian baru merupakan puncak berita Yeremia. Allah akan mengikat perjanjian baru bukan hanya bagi Israel, tetapi juga bagi Yehuda. Perjanjian baru yang dibuat oleh Tuhan itu tidak akan menggantikan perjanjian dengan Musa yang telah dilanggar Israel. Dalam perjanjian itu, Allah tidak menulis perjanjian pada loh-loh batu, melainkan di dalam hati setiap orang yang percaya kepada-Nya. Allah mengharap bahwa mereka yang mendapat perjanjian dalam batin akan menuruti perintah Allah dengan taat. Semua orang yang direngkuh dalam perjanjian Allah akan mengenal Dia. Dalam perjanjian baru ini Allah menyatakan bahwa Ia akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak mengingat lagi dosa-dosa mereka.

Kelemahan bangsa Israel sejak generasi awal adalah ketidaktaatan mereka pada Allah. Taurat mereka hafalkan, namun tidak diwujudkan dalam hidup sehari-hari. Akhirnya Israel dikenal sebagai bangsa yang tegar tengkuk. Hidup mereka tidak berubah ke arah yang lebih baik. Karena itu melalui Yeremia, Tuhan menegaskan supaya mereka menjadi bangsa yang taat.

Apa buah ketaatan? Ketika Tuhan Yesus berada di sekitar Bait Allah, Ia mengatakan bahwa telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan. Anak Manusia adalah diri-Nya. Kemuliaan-Nya adalah kebangkitan. Untuk sampai pada kebangkitan, ada proses yang mesti dijalani yaitu menderita sengsara, mati dan dikuburkan. Ia menggambarkan proses itu seperti biji gandum. Ibarat sebutir biji gandum yang ditanam di dalam tanah, biji itu harus jatuh dan dan mati. Namun kematian biji gandum itu bukan kematian selamanya sebab setelah mati, biji itu akan bertunas dan menumbuhkan kehidupan baru, hingga menghasilkan lebih banyak buah. Dengan demikian, Yesus menyatakan bahwa kematian-Nya adalah sebuah prasyarat untuk pemuliaan-Nya.

Melalui kitab suci kita melihat dan merenungkan bagaimana Tuhan Yesus bertekun dalam proses menjadi seperti biji gandum yang mati, bertunas dan berbuah itu. Ia tidak meninggalkan sedikitpun setiap proses kehidupan yang dijalani. Inilah ketaatan-Nya sebagai Anak Manusia.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.