Zaman campur aduk adalah zaman dimana proses-proses sosial dalam masyarakat cenderung menghadirkan campur aduknya berbagai hal yang saling bertentangan, seperti: fakta-fiktif, faktual-bohong, nyata-maya, asli-palsu, bernilai-tak bernilai, sungguhan dan citraan. Hidup di zaman campur aduk ini memerlukan kearifan sehingga tidak mudah jatuh dalam kesalahan atau terombang-ambing berita bohong.

Masyarakat harus lebih arif untuk menerima setiap informasi, khususnya melalui media sosial yang semakin canggih saat ini. Media sosial menjadi sarana komunikasi yang sangat membantu dalam hubungan dan kehidupan, namun demikian media sosial juga bisa dipakai untuk memberitakan kebohongan.
Amsal 9:1-6 merupakan tuturan atau tuntunan hidup berhikmat (arif). Hikmat telah mempersiapkan tempat khusus untuk pendidikan bagi semua orang. Tujuan dari belajar hikmat adalah didapatnya pengalaman, bertambah akal budi dan membuang kebodohan. Dalam Kitab Amsal, Hikmat dimaknai sebagai firman Tuhan, karena itu sangat dibutuhkan dalam membangun kehidupan seperti yang tertera pada ayat 6: “buanglah kebodohan, maka kamu akan hidup.” Hikmat dibutuhkan untuk membangun keluarga. Dengan memberikan nasihat kepada orang muda, para pendidik (orang tua) akan mendapat kasih dari orang muda yang dididiknya. Bagian ini menggambarkan bahwa antara pendidik dan yang dididik akan saling berbagi. Karena itu, antara pendidik dan yang dididik mesti beriringan dan sejalan agar semua mendapat hikmat dan berkembang bersama.

Kehidupan yang arif adalah hidup yang saksama [akribos: konsisten, tidak sembrono]. Makna hidup yang saksama adalah hidup yang tidak sembrono, setia, konsisten. Konsisten dalam melakukan perilaku hidup benar. Pembiasaan dari hidup yang saksama menjadikan hidup menjadi arif. Perilaku arif itu tampak dalam hidup yang demikian:

Pertama, mempergunakan waktu atau kesempatan yang baik (kairos) dengan melakukan tindakan yang luhur dan memuliakan kehidupan.
Kedua, berusaha mengerti kehendak Tuhan dengan hidup menjadi anak-anak terang (Efesus 5:1-12). Sebab, hidup menjadi anak terang akan berbuahkan kebaikan, keadilan dan kebenaran.

Ketiga, hidup dalam Roh Allah (ay 18) yang berarti hidup dalam kesadaran bahwa diri kita berharga di mata Allah dan sesama. Dengan demikian kita dijauhkan dari perilaku yang jauh dari arif.

Keempat, kehidupan yang apresiatif (ay 19) dengan mengarahkan cara pandang ke hal-hal yang positif.

Kelima, mengucap syukur dalam segala sesuatu (ay 20).
Keenam, kerendahan hati (ay 21) dengan mengekang keinginan untuk menjadi sombong. Sebab, kesombongan adalah pangkal kejatuhan dan kehancuran.

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.