Biasanya kita melewati tahun dan mengawali tahun dengan menghitung dan merencanakan keberhasilan. Kita terbiasa mengukur kekuatan kita agar keberhasilan kita di tahun baru jauh lebih baik dari tahun yang sudah dilewati. Bahkan kita akan merasa gagal ketika kita tidak mencapai apa-apa di tahun yang sudah dilewati, malah membawa pergumulan lama di tahun yang baru. Keberhasilan adalah pusat capaian hidup sebagian banyak orang. Orang dituntut menjadi orang yang berhasil dan sukses.
Tidak sedikit orang yang karena ingin berhasil dan meraup banyak pencapaian menghilangkan rasa dan sikap kepeduliannya kepada orang lain. Sikap peduli dan perhatian hanya dianggap sebagai penghambat dan penghalang untuk mencapai keberhasilan.

Keberhasilan dan kesuksesan yang kita terima membuat kita memiliki keyakinan bahwa kita mampu. Kita bisa. Kita oke. Kita tangguh. Lebih luar biasanya lagi kita merasa bahwa kita adalah “siapa-siapa”. Kepercayaan diri kita bertambah dan semakin yakin bahwa kita bisa mencapai banyak hal lagi di tahun yang baru. Pokoknya kita merasa bahwa kita ini orang yang luarbiasa. Tetapi benarkah keberhasilan itu adalah buah dari perjuangan kita semata? Bukankah keberhasilan itu adalah karena berkat Allah yang tercurah atas hidup manusia? Kebaikan Allah nyata bagi umat-Nya.

Kebaikan Allah tidak pernah memandang muka. Itulah yang tampak ketika Allah memilih para gembala menjadi bagian dari cerita kisah kelahiran Yesus. Para gembala dalam kesederhanaannya mendapatkan kesempatan mendengar dan menyaksikan peristiwa kelahiran Yesus. Pekerjaan sebagai gembala adalah pekerjaan yang tidak mudah. Mereka menghabiskan sebagian waktu mereka di alam bebas, mengawasi kawanan ternak, dan sering kali harus tidur dekat hewan-hewan itu untuk melindungi kawanan ternak mereka dari perampok dan serangan hewan buas. Status gembala dipandang rendah dalam masyarakat zaman itu. Jadi mereka dipilih Allah bukan karena kehebatan mereka. Allah bisa memberi keberhasilan kepada siapapun.
Oleh karenanya, mari belajarlah rendah hati, tidak ada keberhasilan yang dicapai hanya dari jerih payahnya sendiri. Manusia itu terbatas oleh ruang dan waktu, terbatas dalam kemampuan dan pemikiran, manusia juga lemah, memiliki cela untuk jatuh dalam dosa. Mari belajar dari kerendah hatian Yesus. Seperti halnya Paulus, yang mengambil contoh kerelaan Yesus dalam tindakan-Nya merendahkan diri ketika Ia hadir sebagai manusia dan mati di kayu salib. Bahkan, Yesus, Sang Allah, rela mengosongkan diri sama seperti hamba yang menderita. Semua yang dilakukan Yesus didorong oleh rasa cinta-Nya kepada manusia yang berdosa. Kerendahan hati dan pikiran Kristus harus terdapat dalam pengikut-Nya, yang terpanggil untuk hidup berkorban dan tanpa mementingkan diri, mempedulikan orang lain dan berbuat baik kepada mereka. Belajar rendah hati berarti belajar mengakui bahwa Allahlah yang turut bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi semua. Kerendahhatian berarti juga kerelaan memberi diri bagi orang lain dan memperkenankan orang lain masuk dalam kehidupan kita.

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.